^_^

title

terima kasih sudah berkunjung ke blog yang sederhana ini,jika ingin mengcopi catatan silahkan untuk selalu menyebutkan sumbernya.semoga kita selalu dalam jalan yang haq ini.ditunnggu kembali kunjungannya.syukron jazakallahhu khayron.

Kamis, 02 Agustus 2012

(¯´*• Abadilah Cinderajiwa! •*´¯)

“..Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tiada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, ia akan tetap tinggal di bumi..” (Ar Ra’d 17)
Dalam temaram cahaya unggun yang meretih di luar jeruji jendela sempit, Ibnu Taimiyah melihat titik-titik bening di mata para muridnya. Ia tersenyum. Kejernihan di sorot matanya menebar, mendesak gemuruh api yang memakan kayu berkeretak. Keteduhan itu, tatapan penuh kasih itu, seperti sapuan salju di dada mereka yang membara. Kemudian, penjara kota Damaskus di tahun 728 H, menjadi saksi kata-katanya yang abadi menyejarah.
”Apa yang dilakukan musuh-musuhku kepadaku? Demi Allah, jika mereka memenjarakanku, inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, inilah tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.” Tembok-tembok yang lumutnya mengering hitam, lantai yang mencium mesra wajah sujudnya di malam dingin, dan besi-besi jeruji berkarat diam khidmat.
”Apa yang harus kami lakukan wahai Guru?”
“Beberapa hari ini, Sultan telah melarang penjaga memberiku pena, kertas, dan tinta. Tolong lemparkan arang-arang itu ke dalam.. Sungguh, aku ingin menulis.” Ya, mulai hari itu, dari arang yang menari di atas tembok saksi, salah satu karya besarnya yang berjudul Risalatul Hamawiyah dipahatkan untuk keabadian. Keabadian nama besar seorang Syaikhul Islam. Keabadian da’wah dan jihadnya. Keabadian atas hasad orang-orang kerdil jiwa yang iri padanya.
Ketika ia wafat, buku-bukunya dibakar dan dihancurkan. Muridnya, Ibnul Qayyim Al Jauziyah diarak keliling kota, terikat di atas gerobak sampah. Anak-anak kecil berlarian seiring ejek tawa para dewasa, mengolok, meludahi, dan melemparinya dengan buah busuk. Hari ini, dalam katalog hampir semua perpustakaan orang menjumpai nama Ibnu Taimiyah. Atau di toko buku. Ada. Selalu ada.
Tetapi jika makna abadi bagi sebuah buku hanyalah keberadaan, maka sungguh sederhana ia. Lebih dari itu, ia adalah pewarisan nilai. Apapun itu. Baik atau buruk. Maka dalam Islam ada konsep tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Ada keshalihan jariyah, tapi juga ada dosa yang terus mengalir. Inilah pewarisan penuh resiko. Maka apakah yang kau wariskan?
Berbahagialah Ibnu Taimiyah. Setiap huruf yang ia tuliskan tumbuh menjadi dzarrah kebaikan, memicu reaksi berantai yang mengalirkan pahala dari sisiNya. Adakah Niccolo Machiavelli menyesal ketika tahu bahwa Il Principe menjadi sahabat lekat bukan hanya Pangeran Cesare de Borgia –penguasa cerdik yang ia cantumkan di halaman persembahan-, tetapi juga Napoleon dan Hitler? Juga Stalin yang akan menyumbangkan pembantaian 20 juta manusia sebagai tafsir karyanya?
Jika kata adalah sepotong hati, seperti kata Abul Hasan ’Ali An Nadwi, maka semoga buku adalah cinderajiwa. Bagi mukmin sejati, ia adalah sekelumit manikam yang diuntai dari ketulusan terdalam. Ia adalah huruf-huruf yang mengenalkan pahatan makna dari prasasti nurani penulisnya. Maka sucilah buku sebagaimana suci jiwa yang menuangkan inspirasinya. Maka abadilah buku, sebagaimana abadinya niat suci penulisnya. Meski, mereka masih manusia. Ada salah ada lupa.
Anggun dan bijak Imam besar ahli hadits, Syamsuddin Adz Dzahabi berkata tentang Ihyaa’ ’Uluumiddin karya Al Ghazali, ”Kalau saja tidak ada ilmu musthalahul hadits, maka inilah salah satu buku terbaik sepanjang masa.” Ya, iapun mengabadi hingga kini meski kita tak menyaksikan bagaimana penulisnya kemudian menyadari indahnya hadits-hadits shahih Rasulullah. Abu Hamid Al Ghazali wafat dengan Shahih Al Bukhari terpeluk erat di dadanya. Niat sucinyalah yang mengabadi.
Niat suci. Ikhlas. Allah telah membuat perumpamaan yang indah tentang keikhlasan.
”..Di antara kotoran dan darah, ada susu yang khalis, -ikhlas, murni-, mudah ditelan bagi peneguknya..” (An Nahl 66)
Laiknya susu yang murni itu, keikhlasan mengambil tempat dalam ancaman ketakmurnian. Ada kotoran dan darah. Tetapi susu itu murni, bergizi, bermanfaat, dan mudah ditelan. Sungguh jika seorang penulis ikhlas, ia –hati, ucapan, tulisan, dan tindakannya- akan murni, bergizi, bermanfaat, dan mudah ditelan. Mudah dicerna, menjadi energi jiwa. Aduhai sungguh malang meminum susu bercampur sedikit kotoran atau darah. Kalaupun tak muntah, jadilah penyakit. Semalang mencerap buku yang ditulis tanpa keikhlasan. Tetapi.., betapa sulitnya ikhlas itu.

Syukurlah, sejarah mencatat nama Abul Faraj ibnul Jauzy. Ia bukan raja, bukan penguasa, kata Anis Matta dalam serial cintanya. Tetapi 50.000 orang yang hadir tiap kali ia menggelar majelisnya di Baghdad senantiasa menitikkan air mata bersamanya merasai keagungan Allah. Melalui lisannya, 30.000 orang yang tersesat kembali ke pangkuan hidayah. Dan tulisan-tulisannya pun mengabadi. Seperti Shaidul Khathir, yang oleh ’Aidh Al qarni disebut, ”Buku paling bagus dan paling menarik yang pernah saya baca.”
Masih ada banyak makna ketika buku adalah cinderajiwa seorang mukmin sejati. Seperti Fathul Barii, penjelasan paling mengagumkan atas Shahih Al Bukhari. Ia adalah saksi atas doa seorang Ibnu Hajar Al ’Asqalani, ”Ya Allah, jadikan diriku melebihi Adz Dzahabi!” Bukan iri, bukan sombong, atau arogan. Hanya sebuah perlombaan indah untuk meraih ridha Allah. Maka ketika Imam Asy Syaukani diminta mensyarah buku yang sama, ia menjawab, ”Laa hijrata ba’dal Fath, tiada hijrah setelah Fathul Makkah, tiada syarah sesudah Fathul Barii.”
Ya, cinta. Sebagai cinderajiwa terkadang buku juga mengabadikan cinta penulisnya. Cinta yang besar, cinta yang agung, cinta yang suci. Betapa tulus seorang ibu membesarkan putera yatimnya dalam papa, maka sang putera pun mencintainya. Inilah kisah Asy Syafi’i dan ibundanya. Kelak, untuk sang ummi, ia menulis buku induk fiqihnya yang luar biasa. Ia memberinya judul Al Umm, Sang Ibunda.
Buku, sang cinderajiwa juga menjadi sisi lain yang mengutama. Hasan Al Banna memang berkata, ”Saya tidak mencetak buku, saya mencetak kader!” Tetapi kecintaannya yang begitu tinggi pada da’wah tak dapat ditutupi dari Majmuu’atur Rasaail, kumpulan risalah kecilnya dan bahkan Mudzakkiratud Da’wah wad Da’iyyah, memoarnya yang ditujukan untuk da’wah dan para da’inya.
Atau, cinderajiwa itupun mengabadikan ruh perjuangan, spirit menyala, dan jihad penulisnya. Benarlah ’Abdullah ’Azzam ketika mengatakan bahwa sejarah Islam hanya ditulis dengan nuansa dua warna. Hitam tinta para ’ulama dan merah darah para syuhada’. Ia, lelaki yang meninggalkan duduk manis mengajar mahasiswa untuk tegak mengokang Kalashnikov di antara hujan peluru itu telah menuliskan kedua warnanya untuk kita.
Saat hadir pertama kali, di jalanan Kairo 8000 jilid Fii Zhilaalil Quraan dibakar. Cukuplah memiliki Ma’alim fith Thariq sebagai alasan untuk memasuki penjara perang Abdel Nasser sepuluh tahun lamanya. Subhanallaah. Sesungguhnya, tak seorangpun mengetahui kapan dan di mana ruhnya pergi dipanggil Ilahi. Tetapi Sayyid Quthb, lelaki kurus dengan kata-kata menyala yang menulis kedua buku itu telah meyakini dan menuliskan kalimat ini jauh sebelum kematian menjemputnya:
Kalimat-kalimat kita menjadi boneka lilin
Jika kita mati untuk mempertahankannya
Maka saat itulah ruh merambahnya
Hingga kalimat-kalimat itu hidup selamanya
Kalau saja dia hanya bicara, kata-kata ini akan menjadi hampa. Tetapi Sayyid Quthb menyongsong janji pada Rabbnya. Ia menjemput syahidnya. Maka salam untuknya, ”Kalimat-kalimat itu hidup selamanya.. Abadilah cinderajiwa!”
sepenuh cinta,

sumber : http://salimafillah.com/abadilah-cinderajiwa/