^_^

title

terima kasih sudah berkunjung ke blog yang sederhana ini,jika ingin mengcopi catatan silahkan untuk selalu menyebutkan sumbernya.semoga kita selalu dalam jalan yang haq ini.ditunnggu kembali kunjungannya.syukron jazakallahhu khayron.

Jumat, 08 Juli 2011

Risalah Terbuka untuk Penulis Artikel"Surat sayang dari Allah Subhanahu wata'ala


>>Risalah Terbuka untuk Penulis Artikel “Surat Sayang dari Allah Subhanahu wata'ala” (Catatan Akhir pekan ‘Part 9’)<<
copas dari:Abdullah Akiera Van As-samawiey pada 08 Juli 2011 jam 9:10

إنّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيّئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلّ له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أنّ محمدا عبده ورسوله

{يا أيّها الذين آمنوا اتقوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ ولا تَمُوتُنَّ إلاَّ وأَنتُم مُسْلِمُونَ}

{يا أيّها الناسُ اتّقُوا ربَّكمُ الَّذي خَلَقَكُم مِن نَفْسٍ واحِدَةٍ وخَلَقَ مِنْها زَوْجَها وبَثَّ مِنْهُما رِجالاً كَثِيراً وَنِساءً واتَّقُوا اللهََ الَّذِي تَسَائَلُونَ بِهِ والأَرْحامَ إِنَّ اللهَ كان عَلَيْكُمْ رَقِيباً }

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمالَكمْ ويَغْفِرْ لَكمْ ذُنوبَكُمْ ومَن يُطِعِ اللهَ ورَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً}

أما بعد،فإن أصدق الحديث كلام الله وخير الهدي هدي محمد r وشر الأمور محدثاتها وكلّ محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار


Kepada saudara Penulis artikel “Surat Sayang dari Allah SWT” yang kami hormati, kami telah membaca tulisan singkat Anda yang Anda judulkan dengan sebuah kalimat “Surat Sayang dari Allah SWT.”

Kami membacanya sekitar setahun yang lalu di note/catatan pada sebuah akun Facebook. Pada saat itu juga kami berniat untuk memberikan sebuah tanggapan. Kami terlupa menyimpan catatan tersebut dan ide penulisan tanggapan yang kami maksud baru bisa kami realisasikan saat ini.

Setelah menelusurinya via Google, kami kembali menemukan tulisan Anda pada sebuah blog namun kami tidak mampu menelusuri tentang Anda sebagai penulis karena pada tulisan itu memang tidak dicantumkan nama penulis. Pada catatan-catatan yang tersebar, yang ada hanyalah nama-nama pemilik akun baik facebook atau blog yang ikut menyebarkannya.

Tulisan Anda telah menyebar di blog, email dan facebook, seperti yang kami ketahui. Awalnya, kami benar-benar berniat mengirim tanggapan kepada Anda saja sebagai penulis secara ‘empat mata’ dan bukan mempublikasikan seperti ini.

Namun, ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan kami menulis tanggapan terbuka ini dan memilih untuk mempublikasikannya.

Pertama, ketiadakpastian tentang siapa Anda sebagai penulis karena nama Anda tidak dicantumkan dalam tulisan tersebut. Hal ini menyebabkan kami tak tahu harus ditujukan kepada siapa.

Kedua, mengingat banyak pihak yang telah membaca tulisan Anda dan memberikan tanggapan yang beragam, dan lebih-lebih catatan Anda erat hubungan dengan tauhid Asma’ (Nama) dan Shifat (sifat) Allah ‘azza wajalla yang wajib diketahui seorang muslim dan muslimah.

Ketiga, dengan mempublikasikannya, kami berharap agar para pembaca dan penulis lain tidak menjadikan anda sebagai “teladan” dalam menulis dengan menggunakan ritme dan gaya penulisan seperti apa yang anda lakukan, karena tulisan anda, seperti hasil penelusuran ilmiah kami, merupakan racun akidah yang mampu menipiskan tauhid kaum muslimin.



Saudara Penulis yang kami hormati.

Catatan yang kami susun ini akan berisi tanggapan-tanggapan ilmiah terhadap keseluruhan artikel singkat Anda. Sebelum itu, perlu kiranya kami tampilkan kembali artikel Anda yang kami temui dalam sebuah website (http://nurudin.jauhari.net/surat-sayang-dari-allah-subhanahu wata'ala.jsp) dan kami pun menampilkanya tanpa ada perubahan. 

***
Surat Sayang Dari ALLAH SWT 

Saat kau bangun pagi hari, AKU memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada KU, walaupun hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin……

Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja ……. AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap, AKU tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk ……
Disatu tempat, engkau duduk disebuah kursi selama lima belas menit tanpa melakukan apapun. Kemudian AKU Melihat engkau menggeerakkan kakimu. AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari ke telephone dan menghubungi seorang teman untuk mendengarkan kabar terbaru.

AKU melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan AKU menanti dengan sabar sepanjang hari. Dengan semua kegiatanmu AKU berfikir engkau terlalu sibuk mengucapkan sesuatu kepadaKU.
Sebelum makan siang AKU melihatmu memandang sekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepadaKU, itulah sebabnya mengapa engkau tidak menundukkan kepalamu.

Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut namaKU dengan lembut sebelum menyantap rizki yang AKU berikan, tetapi engkau tidak melakukannya ……. masih ada waktu yang tersisa dan AKU berharap engkau akan berbicara kepadaKU, meskipun saat engkau pulang kerumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan.

Setelah tugasmu selesai, engkau menyalakan TV, engkau menghabiskan banyak waktu setiap hari didepannya, tanpa memikirkan apapun dan hanya menikmati acara yg ditampilkan. Kembali AKU menanti dengan sabar saat engkau menonton TV dan menikmati makananmu tetapi kembali kau tidak berbicara kepadaKU……
Saat tidur, KU pikir kau merasa terlalu lelah. Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu, kau melompat ketempat tidur dan tertidur tanpa sepatahpun namaKU, kau sebut. Engkau menyadari bahwa AKU selalu hadir untukmu.

AKU telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. AKU bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar terhadap orang lain. AKU sangat menyayangimu, setiap hari AKU menantikan sepatah kata, do’a, pikiran atau syukur dari hatimu.

Keesokan harinya …… engkau bangun kembali dan kembali AKU menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberiku sedikit waktu untuk menyapaKU …….Tapi yang?? KU tunggu …….. tak kunjung tiba ……tak juga kau menyapaKU.

Subuh …….. Dzuhur ……. Ashyar ………. Magrib ……… Isya dan Subuh kembali, kau masih mengacuhkan AKU ….. tak ada sepatah kata, tak ada seucap do’a, dan tak ada rasa, tak ada harapan dan keinginan untuk bersujud kepadaKU……….

Apa salahKU padamu …… wahai UmmatKU????? Rizki yang KU limpahkan, kesehatan yang KU berikan, harta yang KU relakan, makanan yang KU hidangkan, anak-anak yang KUrahmatkan, apakah hal itu tidak membuatmu ingat kepadaKU …………!!!!!!!

Percayalah AKU selalu mengasihimu, dan AKU tetap berharap suatu saat engkau akan menyapa KU, memohon perlindungan KU, bersujud menghadap KU …… Yang selalu menyertaimu setiap saat ……..

Note: apakah kita memiliki cukup waktu untuk mengirimkan surat ini kepada orang2 yang kita sayangi??? Untuk mengingatkan mereka bahwa segala apapun yang kita terima hingga saat ini, datangnya hanya dari ALLAH semata.

dari email mas Miko WIjanarko
***

Saudara Penulis yang kami hormati, membaca tulisan Anda, kami menemukan beberapa pelanggaran syar’i terhadap sifat Allah seperti apa yang saudara paparkan dalam banyak kalimat.

Anda menulis seluruh paragraf yang mengungkapkan bahwa semua yang Anda tulis tersebut adalah ucapan/perkataan dari Allah. Anda mencoba mengolah kata-kata kemudian menampilkannya sebagai surat yang datang dari Allah. Dalam tulisan Anda di atas, Anda berusaha meraba dengan akal lalu berimajinasi tentang ‘apa-apa yang sedang Allah lakukan’ dalam versi atau pandangan Anda.

Pada tahap ini yaitu tahap puncak dalam proses berpikir sebelum atau sedang menulis, Anda terjatuh dalam beberapa pelanggaran kode etik terhadap tauhid Asma’ wa Shifat. Diantaranya, seperti yang bisa kami tangkap, adalah:

(1) adanya unsur fiktif terhadap kalam/perkataan/ucapan Allah,

(2) memposisikan diri sebagai Rabb (menaikkan manusia pada level ketuhanan) atau memposisikan Rabb sebagai diri Anda (menjadikan Allah pada level kemanusiaan) yang mengindikasikan paham Wihdatul Wujud,

(3) penyamaan antara sifat Allah dan sifat makhluk,

(4) penggunaan akal dalam memahami dzat dan sifat Allah,

(5) berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan 

(6) berdusta atas nama Allah.

Meninjau dari perspektif (sudut pandang) Alqur’an dan As-sunnah berdasarkan manhaj Ahlussunnah Waljama’ah, enam pelanggaran itulah yang akan kami bicarakan dalam paragraf-paragraf selanjutnya. Insya Allah.


ADANYA UNSUR FIKTIF TERHADAP KALAM/PERKATAAN/UCAPAN ALLAH

Dengan menggunakan akal dan pikiran, seperti yang kami sebutkan, sekali lagi, Anda mencoba berimajinasi dan meraba tentang kegiatan manusia dan memposisikan cara pandang Anda sebagai Allah dan dengan kata “AKU” sebagai sudut pandang pertama. Dengan gaya narasi, Anda telah memfiktifkan dan menyifati dzat Allah seperti sifat manusia pada umumnya. Maha suci Allah dari apa yang Anda paparkan.

Anda menulis dengan redaksi kalimat:     
Saat kau bangun pagi hari, AKU memAndangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada KU, walaupun hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin ……”  Dan seterusnya.

Mari kita kaji hal ini dari perspektif dan timbangan Al-qur’an dan As-sunnah sesuai dengan metode yang telah dipaparkan secara mendetail oleh Ahlussunnah wal Jama’ah.

Ahlussunnah menetapkan nama dan sifat Allah berdasarkan apa-apa yang telah Allah tetapkan sendiri tentang diri-Nya baik dalam Al-qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam kitab Mukhtashar Sabiili Al-Huda wa Ar-Rasyad fie Bayaani Haqiqati Tauhiidi Rabbi Al-‘Ibaad, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-khumais menyebutkan dan memaparkan enam metode dalam penetapan Asma’ dan Sifat Allah.

Kami melihat bahwa artikel Anda benar-benar telah bertolak belakang dengan metode yang beliau maksud. Terutama metode kedua, yaitu:

أن أسماء الله عز وجل وصفاته كلها عندهم توقيفية
“Semua nama dan sifat Allah dalam konsensus Salafusshalih bersifat tauqifiyyah (berdasarkan wahyu -ed).”[1]

Beliau, penulis kitab tersebut, setelah mengutip dua buah ucapan ulama, berkata:

وذلك لأن الاٍيمان بصفات الله وأسمائه من الاٍيمان بالغيب, ولا يمكن معرفة الغيب إلا عن طريق الرسل الذين يبلغون وحي الله.

“Demikianlah karena keimanan terhadap Asma dan sifat Allah adalah keimanan terhadap perkara ghaib dan tidak mungkin mengetaui perkara ghaib kecuali dengan metode para Rasul yang menyampaikan wahyu allah.”[2]

Silahkan bagi siapapun yang ingin menulusuri metode para Rasul, sahabat dan Imam-imam kuam muslimin maka tak akan ditemukan diantara mereka yang memfiktifkan ucapan Allah dan Rasul-Nya seperti apa yang Anda tuliskan.

Seorang muslim tidak akan mensifati Allah dengan sesuatu yang fiktif dan tidak pula mensifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak Allah sebutkan dalam Al-Qur’an maupun berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Masih dalam kitab yang kami sebutkan sebelumnya, kami dapati perkataan emas Syaikh Abdurrahman bin Qasim:

لاينبغي لأحد أن  يصف الله إلا بما وصف الله به نفسه أو وصف به رسو له في القرآن

“Tak sepantasnya bagi seorangpun mensifati Allah kecuali dengan apa-apa yang Allah sifatkan bagi diri-Nya atau yang Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sifatkan dalam Al-qur’an.”[3]

Bahkan imam-imam kaum muslimin telah bersepakat bahwa sifat Allah harus berdasarkan wahyu.

Sajzii berkata:

 قد اتفقت الأئمة على أن الصفات لا تؤخذ إلا توقيف وكذلك شرحها لايجوز إلا بتوقيف. . .ولا يجوز أن يوصف الله سبحانه إلا بما وصف به نفسه أو وصفه به رسوله

“para imam telah sepakat bahwa sifat Allah tidak disarikan/ditetapkan kecuali dengan tauqifiyyah (berlandaskan wahyu). Begitu juga  penjelasan tentang makna sifat Allah tersebut tidak boleh [ditetapkan] kecuali dengan tauqifiyyah. Tidak boleh pula mensifati Allah kecuali dengan apa-apa yang Allah sifatkan bagi diri-Nya atau dan yang disifatkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.”[4]

Dari keterangan para ahli ilmu di atas, seperti yang kami paparkan, maka jelaslah bahwa seorang muslim tidak dibenarkan memfiktifkan tentang dzat dan sifat Allah Yang Maha Agung, apalagi menerka-nerka dan memaksakan akal untuk melukiskannya dengan pena.

Saudara Penulis yang kami hormati, apakah Allah, dalam Alqur’an atau hadits qudsi, pernah mensifati diri-Nya dengan mengucapkan:

AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari ke telephone dan menghubungi seorang teman untuk mendengarkan kabar terbaru..”  Dan seterusnya seperti apa yang Anda tuliskan?

Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadits-haditsnya juga pernah bersabda bahwa Allah pernah mengatakan:

AKU telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. AKU bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar terhadap orang lain. AKU sangat menyayangimu, setiap hari AKU menantikan sepatah kata, do’a, pikiran atau syukur dari hatimu.”  Dan seterusnya seperti apa yang Anda tuliskan?

Tentu saja kami dan Anda akan menjawab “tidak”. Maka dalam ini, kami melihat Anda telah begitu berani memfiktifkan tentang Allah, Rabb kita yang mulia, yaitu dengan cara mengabarkan ucapan/kalimat yang Allah dan Rasul-Nya TIDAK kabarkan baik dalam kitab yang mulia maupun As-sunnah.


MEMPOSISIKAN DIRI SEBAGAI RABB (MENAIKKAN MANUSIA PADA LEVEL KETUHANAN) ATAU MEMPOSISIKAN RABB SEBAGAI DIRI ANDA (MENJADIKAN ALLAH PADA LEVEL KEMANUSIAAN) YANG MENGINDIKASIKAN PAHAM WIHDATUL WUJUD

Saudara penulis yang kami hormati, seperti yang anda pahami, dalam menulis sebuah karangan apalagi bersifat fiktif, para penulis akan berkhayal kemudian khayalan tersebut diolah dan diramu dengan baik berdasarkan ide-ide, pengalaman penulis sendiri dan pengalaman orang lain, kemudian memilih kata-kata yang dianggap serasi satu sama lain.
Saat memaparkan tentang si fulan, misalnya, para penulis akan menuliskan keadaan, sifat, segala gerak-gerik dan kegiatan harian si fulan, minimal akan didasari pengalaman penulis. Ini adalah ‘rahasia’ para penulis yang tidak bisa disangkal.

Ketika para penulis mengalami pengalaman yang berkesan baik bersifat menyenangkan maupun menyedihkan maka dalam membuat kisah fiktif setidaknya mereka akan melakukan berbagai ekplorasi, antara lain:

(1) mentransformasikan pengalaman tersebut atau pengalaman orang lain sebagai alur kisah tokoh utama atau tokoh-tokoh lain dalam tulisannya,

(2) mentranformasikan tokoh utama atau tokoh lainnya sebagai diri penulis sendiri, dan/atau

(3)  mentransformasikan diri penulis sebagai tokoh utama atau tokoh lain.

Proses transformasi inilah yang anda lakoni ketika menulis kisah fiktif “Surat Sayang dari Allah SWT.” Dalam menulis artikel tersebut, semua kata kerja yang Anda sandarkan untuk Allah sejatinya adalah kata kerja yang merupakan inisiatif pikiran Anda sendiri. Dalam hal ini, Andalah yang melakukan ekspresi dari kata kerja itu sendiri. Dengan kata lain, semua kata kerja tersebut merupakan ekspresi dari apa yang Anda lakukan.

Cobalah Anda perhatikan kalimat-kalimat yang anda pilih, salah satunya,

AKU Melihat engkau menggeerakkan kakimu.”

Dalam kalimat tersebut, Anda membayangkan diri sedang melihat gerakan kaki seseorang. Kata “Aku” tersebut sebenarnya diri Anda sendiri. Sejatinya itu adalah ekspresi penglihatan Anda. Pada tahap penulisan dan berpikir inilah Anda sedang memposisikan Rabb Allah sebagai diri Anda sendiri dengan memberikan kesan bahwa kata “AKU” adalah Allah. Dengan kata lain, Anda telah memindahkan derajat ketuhanan kepada derajat kemanusiaan.

Kedua, sekiranya anda merasa tidak seperti apa yang kami paparkan di atas, maka Anda  terjebak dalam kesalahan yang berbeda namun serumpun dengan paragrap di atas sebelumnya, yaitu  Memposisikan diri sebagai Rabb. Dengan kata lain, sebagai manusia, Anda menaikkan diri anda hingga level ketuhanan. Ini yang tak kalah berbahaya. Saat menulis, anda begitu berani, entah sadar atau tidak, memposisikan diri sebagai Rabb yang berusaha menyadarkan manusia dengan kalimat-kalimat fiktif yang Anda pilih.

Sebagai contoh, ketika ada seorang si fulan yang menyampaikan pesan raja kepada para prajurit dengan berkata: “aku (raja -ed) melihat kalian di taman”  padahal sang raja tidak pernah berucap demikian maka terbesit dalam benak dan pikiran si fulan tersebut, entah sadar atau tidak, ia sedang menjadi raja karena telah mengambil alih posisi sang raja dalam/melalui sebuah ucapan dusta tesebut.

Sekiranya Anda tak “mengakui” argument yang pertama pada sub judul ini maka proses pengambilalihan derajat inilah yang sedang anda lakoni walaupun hanya terjadi sedetik saja dalam menulis kalimat-kalimat yang kami anggap sensitif dan vulgar tentang Allah.

Saudara penulis yang kami hormati,

Kami melihat bahwa langkah-langkah Anda begitu berbahaya karena bisa mengarah pada paham Wihdatul Wujud. Indikasi-indikasi yang telah kami paparkan mengarah kepada paham tersebut, entah anda memahami dengan baik dan mendetail hakikat paham tersebut atau tidak.

Agar lebih memahami tentang hakikat wihdatul wujud, berikut kami sebutkan dua sekte dalam ajaran Tasawwuf, salah satunya tentang paham widatul wujud itu sendiri[5].

Pertama, sekte Al Hulul.

Sekte ini berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah ‘Azza wa Jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj. Para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati. Dia dibunuh dan disalib –Alhamdulillah ‘Azza wa Jalla - pada tahun 309 H. Dan di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata[6]:


Maha suci (Allah ‘Azza wa Jalla ) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus

Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya

dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum
Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya
seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata


Dalam sya’ir lain[7]  -Maha Suci Allah ‘Azza wa Jalla dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata:


Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku

kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad

Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia
Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami


Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘Azza wa Jalla ) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.

Kedua, sekte Wihdatul Wujud.

Sekte ini berkeyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘Azza wa Jalla ) – maha suci Allah ‘Azza wa Jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai.[8]

Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah[9] dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya:


Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba

duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?

Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan
Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!

Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam[10] dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah.”

Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.




PENYAMAAN ANTARA SIFAT ALLAH DENGAN SIFAT MAKHLUK

Terlihat begitu kental aroma penyamaan ini walaupun sekiranya Anda akan menolak dengan berkata: “Saya tak berniat melakukan penyamaan.” Hanya saja, pena Anda telah menyemburkan tintanya dan menuliskan kalimat-kalimat dengan nada menyamakan.

Anda menulis yang seolah-olah ucapan dari Allah:

Saat kau bangun pagi hari, AKU memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada KU, walaupun hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin……

Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja……. AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap, AKU tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk……” Dan seterusnya.

Kami dan pembaca-pembaca yang lain tentu saja dengan mudah memberikan tanggapan bahwa tulisan Anda di atas sama seperti ucapan manusia biasa dan Allah lah menjadi pemeran utama dalam “cerpen” Anda. Tak ada bedanya dengan cerpen-cerpen, roman, atau novel-novel yang bertebaran di tanah air pada umumnya.

Kalimat AKU memandangmu dan berharap”, “AKU tahu”, “AKU kembali menanti”, “AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri”, dan kalimat-kalimat lain yang masih banyak lagi merupakan penyamaan sifat Allah dengan kesehariaan rutinitas manusia sebagai makhluk. Benar bahwa Allah Maha Melihat tapi berbeda dengan penglihatan manusia. Allah Maha Melihat dengan keagungan-Nya. Di sinilah Anda menyamakan proses penglihatan Allah dengan penglihatan manusia.

Kami yakin bahwa Anda memahami dengan baik bahwa:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”[11]

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-fauzan berkata tentang ayat di atas dalam kitab beliau Syarhu Al-aqiidah Al-washithiyyah:

 [ليس كمثله شيء] رد على الممثلة

kalimat [ليس كمثله شيء] adalah bantahan terhadap orang-orang yang menyerupakan (Allah dengan makhluk-Nya).”[12]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya, serta Allah tidak dapat diqiaskan dengan makhluk-Nya.[13] 


PENGGUNAAN AKAL DALAM MEMAHAMI DZAT DAN SIFAT ALLAH

Saudara Penulis yang kami hormati.

Seperti Anda, kami pun seorang penulis yang telah melalui tahap-tahap tertentu dalam sebuah penulisan baik penulisan artikel maupun naskah buku dan sejenisnya. Pada umumnya, seorang penulis akan melalui proses berpikir dan perenungan sambil mengaitkan ide-ide yang menari dalam pikiran. Dalam proses berpikir inilah adanya peran akal yang terbimbing oleh literatur-literatur yang keilmiahannya berhubungan dengan keilmuan syariat atau bidang keduniaan.

Membaca artikel singkat Anda, sulit bagi kami untuk mengklasifikasikannya ke dalam tulisan yang ilmiah atau berhubungan dengan literatur-literatur tertentu baik bidang keilmuan dunia apalagi bidang keilmuan syar’i. Seperti apa yang kami ungkapkan sebelumnya, kami lebih nyaman menyebutnya sebagai cerpen. Iya benar. Sebuah cerita pendek yang bersifat fiktif, rekaan dan pemaksaan alur.

Apakah cerpen Anda dikatakan berlandaskan wahyu? Tentu saja tidak karena wahyu (Alqur’an dan Hadits) tak akan menyamakan Allah dengan sifat makhluk. Maka dalam cerpen Anda ini akal Anda lah yang bermain cantik.

Apakah akal benar-benar terlarang dalam hal ini? Tentu saja tidak namun akal yang digunakan untuk meraba dunia ghaib termasuk tentang dzat dan sifat Allah sehingga ‘menabrak’ kode etik syar’i lah yang terlarang.

Dengan akal, Anda berusaha meraba ruang dimensi ghaib tentang dzat dan sifat Allah sehingga Anda begitu percaya diri menampilkan ‘pebuatan’ Allah, seolah-olah seperti kebiasaan manusia pada umumnya. Lihatlah banyak kalimat yang Anda pilih sebagai redaksi artikel:

Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja……. AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap, AKU tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk……” Dan seterusnya.

Dengan akal, Anda begitu berani memberikan banyak ‘kata kerja’ bagi Allah, pada kata yang kami cetak tebal. Kata kerja ini dan yang lainnya seperti kata kerja pada manusia umumnya padahal Allah sendiri tidak mengabarkan demikian.
Begitu lihai akal Anda bermain dan meraba alam ghaib sehingga Anda pun berijtihad untuk menaburkan banyak kata kerja yang Anda sandarkan kepada Allah, seolah-olah Allah itu seperti apa yang Anda lukiskan.

Perlu diketahui bahwa salah satu kekhususan dan ciri khas Aqidah Islam, seperti yang disebutkan oleh DR. Abdullah  bin Abdul Aziz al-Jibrin dalam kitab beliau Tahdzib Tashil al-‘Aqidah al-Islamiyyah bahwa aqidah Islam bersifat ghaib.[14]

Ghaib adalah sesuatu sesuatu yang berada di luar jangkauan indera. Oleh karena itu, pendengaran, penglihatan, sentuhan, penciuman, dan rasa tak mampu melampaui alam ghaib. Berdasarkan definisi ini, semua urusan dan berbagai masalah aqidah Islam yang wajib diimani dan diyakini seorang hamba, termasuk tentang dzat dan sifat Allah, bersifat ghaib.[15]

Saudara Penulis yang kami hormati,

Allah menjadikan akal itu memiliki batas-batas yang tidak dapat dilampauinya. Akal pula tidak dapat mengetahui segala sesuatu yang dikehendaki pemiliknya. Pengetahuan akal itu terbatas namun pengetahuan Allah tak terbatas dan Allah mengetahui segalanya baik yang telah, sedang dan akan terjadi.[16]

Berdasarkan uraian di atas, akal tidak bisa dijadikan pijakan dalam menetapkan aqidah (dalam hal yang kita bicarakan ini adalah pembicaraan tentang dzat dan sifat Allah) yang tidak ada ruang ijtihad di dalamnya.[17]

Aqidah yang benar harus berupa keyakinan yang kuat, maka sumber-sumbernya diyakini kebenarannya secara pasti dan sumber ini tidak ditemukan kecuali dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya yang shahih.[18]

Menutup bagian ini, berikut ucapan DR. Abdullah  bin Abdul Aziz al-Jibrin:

“Maka dari itu, semua sumber aqidah yang bersifat praduga, seperti qiyas dan akal manusia, tidak sah dijadikan sebagai landasan aqidah. Barang siapa yang menjadikannya sebagai sumber aqidah maka ia telah kehilangan aspek kebenaran dan  telah menjadikan aqidah sebagai ruang ijtihad yang bisa dan juga bisa benar.”[19]


BERBICARA TENTANG ALLAH TANPA ILMU

Pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu termasuk pembicaraan yang tidak beradab dan beretika. Tentu saja mengabarkan tentang Allah sesuatu yang memang tidak Allah kabarkan atau katakan, kami kategorikan sebagai pembicaraan tanpa ilmu lagi dusta.

Saudara Penulis yang kami hormati.

Lebih dari itu pula, kami benar-benar geram dengan beberapa redaksi kalimat yang Anda pilih dalam menyifati tentang Allah.

Dalam artikel Anda, Allah ‘berkata’ dalam versi Anda:

AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari ke telephone dan menghubungi seorang teman."                  

Cobalah Anda cermati kembali kata “berpikir” dalam kalimat Anda tersebut. Kami menemukan dua makna dari kata “berpikir.”

Pertama, kata “berpikir”, jika belum bergandeng dengan kalimat lain, bermakna “berpikir” itu sendiri tanpa mengalami transformasi makna menuju istilah lain. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “berpikir” bermakna (1) menggunakan akal budi untuk menimbang dan memutuskan sesuatu dan (2) menimbang-nimbang dalam ingatan.[20]

Apakah Allah Yang Maha Agung nan Mulia harus berpikir terlebih dahulu dalam menciptakan langit dan bumi? Apakah Allah Yang Maha Agung nan Pemberi Rizki harus berpikir terlebih dahulu sebelum memutuskan membagikan rizki kepada seluruh makhluk? Apakah Allah Yang Maha Bijaksana harus berpikir terlebih dahulu dalam menurunkan agama Islam? Apakah Allah Yang Maha Perkasa harus berpikir terlebih dahulu dalam menurunkan hujan? Apakah Allah Yang Maha Mendengar harus berpikir dahulu dalam menciptakan makhluk? Sungguh Maha Suci Allah dari apa yang Anda lontarkan.

Kedua, kata “berpikir” dalam kalimat yang Anda luncurkan lewat pena Anda, bermakna menduga, mengira-mengira, menerka karena tidak tahu apa yang akan terjadi.

Dalam kalimat Anda tersebut, Allah berpikir (menduga/mengira/menerka) bahwa manusia yang Allah ajak berbincang lewat surat Anda akan mengajak Allah berbicara namun dia malah berlari ke telephon dan menghubungi seorang temannya.

AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari ke telephone dan menghubungi seorang teman.”

Menurut Anda, apakah Allah tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang sehingga Allah harus menerka-nerka seperti Anda menerka-nerka tentang Allah? Subhanallah. Maha Suci Allah dari apa yang Anda lontarkan.

Tidak ada satu pun yang tidak Allah ketahui di langit maupun di bumi, baik di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman:

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ

Kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit.”[21] 

Bukankah Allah mengetahui apa yang telah, sedang dan akan terjadi?

وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[22] 

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.”[23] 

يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

“Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”[24]


BERDUSTA ATAS NAMA ALLAH

Saudara penulis yang kami hormati. Berbicara atas nama Allah tanpa ilmu dikategorikan sebagai kedustaan terhadap-Nya. Syaikh Abu Abdillah Muhammad Ruslan membuat bab khusus tentang masalah ini dalam kitab Afaatul ‘Ilmi. Dalam bab ketiga yaitu bab “Berdusta Kepada Allah” beliau berkata:

“Berbicara atas nama Allah tanpa ilmu adalah kedustaan terhadap-Nya. Allah tidak memperbolehkan siapapun untuk berdusta pada-Nya. Tidak boleh menyadarkan ucapan kepada Allah tentang hal-hal yang tidak difirmakan-Nya.”[25]

Beliau kemudian membawakan ayat-ayat pada surat Al-Haqqah kemudian mengutip tafsir beberapa ulama mengenai penjelasan ayat tersebut. Salah satunya Ibnu Katsir.

Allah berfirman:

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأقَاوِيل لأخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ

“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.”[26]

Ibnu Katsir memaparkan bahwa sekiranya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pendusta, menambah atau mengurangi ajaran syari’at ini, atau mengatakan sesuatu yang tidak difirmankan Allah dan menisbatkan kepada Allah maka Allah tentu sudah memberikan hukuman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dunia.[27]

Al-Qasimi menyebutkan tentang makna ayat “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami,” adalah sekiranya berdusta atas nama Allah. Beliau menyebutkan dusta sebagai taqawwul (mengada-ada) karena istilah tersebut adalah sebuah ucapan yang dipaksakan.[28]

Az-Zamakhsyari menjelaskan makna ayat di atas bahwa sekiranya nabi Muhammad mengklaim sebuah ucapan/perkataan yang belum pernah Allah ucapkan maka tentulah Allah sudah membunuhnya tak ubahnya seperti membunuh tawanan yang tertangkap. Seperti yang dilakukan para raja terhadap orang-orang yang berani berdusta atas nama mereka, yakni memberi hukuman selekasnya karena kemurkaan dan kemarahannya.[29]

Pada ayat yang lain, Allah berfirman:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah". Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”[30]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang makna ayat di atas:

“Allah menegaskan bahwa tidak ada orang yang lebih zhalim dan lebih besar daripada orang yang berdusta pada Allah, dengan menisbatkan ucapan atau hukum kepada-Nya, padahal Dia berlepas darinya. Orang tersebut dianggap sebagai orang yang paling zhalim karena ia  melakukan dusta dan mengubah agama, baik dasar-dasar maupun cabang-cabangya lalu menisbatkannya kepada Allah. Jelas bahwa itu adalah kerusakan paling besar.”[31]

Al-Qurthubi berkata:

“yakni, tiada seorang pun yang lebih zhalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah.”[32]

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ, مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“..Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih. ”[33]

Ketika Allah mengharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berdusta atas nama-Nya maka begitu jelas pula Allah mengharamkan bagi manusia pada umumnya. Dalam ayat-ayat beserta tafsirnya yang kami bawakan, terlihat begitu keras ancaman bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sekiranya beliau berdusta kepada Allah mengenai apa-apa yang tidak Allah kabarkan dari langit.

Maka bagaimana dengan kita yang begitu semena-mena menarasikan tentang Allah dan bertolak belakang dengan apa yang Allah sendiri kabarkan dalam Al-qur’an maupun hadits-hadits?

Saudara Penulis yang kami hormati, tak hanya itu, lihatlah kegigihan para ulama ahli hadits dalam membersihkan penambahan-penambahan redaksi hadits yang mengatasnamakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ulama ahli hadits tersebut memilih dan memilah redaksi yang merupakan tambahan atau redaksi asli sebuah hadits sehingga bisa disarikan mana hadits yang bisa dijadikan  landasan hukum atau tidak, mana yang merupakan hadits palsu atau lemah. Konsep inilah yang merupakan salah satu agenda Tashfiyyah pada bidang hadits/As-sunnah.

Para ahli hadits melakukan kerja keras yang patut dihargai dalam menjaga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari berbagai kedustaan. Mereka melakukan perjalanan jauh berhari-hari dan berbulan-bulan hanya untuk memastikan dan menentukan kualitas hadits dari segi keshahihannya. Dalam perjalanan tersebut, mereka menghadapi berbagai kepayahan dan kesulitan , yang bertujuan menjaga agama ini dari perubahan, baik penambahan atau pengurangan.[34]

Para pemalsu hadits ada yang bertujuan merobohkan bangunan Islam. Ada pula yang bertujuan baik namun hal itu tetap saja tidak diperbolehkan.

Dalam kitab Mabhats fie ‘Uluumil Hadits, syaikh Manna’ Al-qaththan memaparkan empat faktor orang-orang dalam memalsukan hadits. Diantaranya adalah untuk menceritakan kisah-kisah dan memberikan nasehat[35]. Namun demikian niat baik seperti itu, oleh para ulama, tetap menolaknya. Hal ini berdasarkan beberapa hadits.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين

“siapa yang yang menceritakan hadits dariku, dia mengetahui bahwa itu dusta maka dia termasuk salah satu diantara para pendusta.”[36]

Saudara penulis yang kami hormati, lihatlah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar terlarang walaupun dengan niat yang baik. Para ulama pula telah berusaha dengan begitu sungguh-sungguh dalam memberantas kedustaan yang mengatasnamakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lantas bagaimana dengan orang-orang yang berdusta atas nama Allah, Rabb dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita dan alam semesta?

Kepada Anda, kami pun berusaha berbaik sangka bahwa Anda memiliki niat baik dalam menulis artikel singkat tersebut. Namun, Anda terjatuh dalam kesalahan fatal. Sulit bagi kami menyebutkan Anda sebagai pendusta/berdusta kepada/tentang Allah namun indikasi-indikasi pendustaan begitu terlihat jelas dalam tulisan Anda.

***
_________________
CATATAN PENULIS

Pembaca yang budiman, setelah membaca dan menulis kritikan ini, ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan.

Kami benar-benar tidak tahu siapa penulis artikel singkat di atas. Bisa jadi sang penulis adalah orang kafir yang ingin membuyarkan sifat Allah secara perlahan sehingga mengikis keimanan kaum muslimin. Bisa jadi sang penulis adalah adalah saudara kita yang ingin menghacurkan aqidah Islam dari dalam tubuh kaum muslimin. Ibarat musuh dalam selimut.

Bisa jadi pula, dan inilah persangkaan baik kami, bahwa penulis adalah saudara kita kaum muslimin yang berniat baik ingin membangun kesadaran beragama kaum muslimin namun pada saat yang sama ia terjatuh dalam pelanggaran kode etik aqidah Islam, tepatnya tauhid Asma’ wa Sifat.

Tulisan singkat penulis tersebut banyak menyebar dan mendapat respon baik dari pembaca yang memiliki level keilmuan yang masih minim. Seperti yang kami ketahui, belum ada rekan-rekan kami yang memberikan masukan ilmiah secara khusus.

Sebagai penutup, pangkal dari semua ini adalah ketidaktahuan kaum muslimin terhadap salah satu jenis tauhid yang wajib diketahui seorang muslim/muslimah yaitu tauhid Asma’ wa Sifat. Para ulama telah memaparkan dengan rinci tema ini, dan di negeri kita sendiri sudah banyak kitab-kitab terjemahan yang mengulasnya.


وفي الختام أرجو أن أكون قد وفقت في هذه الرسالة. وأعوذ بالله من الخطأ والزلل. وأسأله قبول الصالح من العمل. وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العلمين. والصلاة والسلام على أشرف المرسلين سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعه بإحسان إلى يوم الدين.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك  


***

Penulis: Abdullah Akiera Van As-samawiey (Fachri Aboe Syazwiena)

Editor/Akurator: Ustadz Abul Jauzaa’ Al-Bogory (pemilik blog http://abul-jauzaa.blogspot.com/)

Mataram, di pagi yang cerah. Rabu, 26 Rajab 1432 H (29 Juni 2011 M). Selesai disempurnakan Selasa sore, 4 Sya’ban 1432 H (5 Juli 2011 M).

__________
REFERENSI:

Alqur’an Digital dan Terjemahan

Kitab Syarah Aqidah Wasithiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Fauzan Al-Fauzan, penerbit Daar As-Salafiyyah Uni Emirat Arab, cetakan I, 1429 H/2008 M.

Kitab Mukhtashar Sabiili Al-Huda wa Ar-Rasyad fie Bayaani Haqiqati Tauhiidi Rabbi Al-‘Ibaad, penulis
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-khumais, penerbit Maktabah Al-furqan, cetakan pertama, 1423 H/2002 M.

Kitab Al-Bida’ Al-Hauliyyah oleh syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiri diterbitkan Darul Falah Jakarta dengan judul Ritual Bid’ah Dalam Setahun, cetakan 4, 2006 M.

Kitab Khasha-ish Ahli Al-Hadits wa As-Sunnah oleh syaikh Muhammad Muhibuddin Abu Zaid, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Merekalah Golongan Yang Selamat, cetakan 1, 2009 M.

Kitab At-Tashfiyyah Wa Tarbiyyah oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halaby Al-Atsari, diterbitkan oleh Imam Bukhari Solo dengan judul Tasfiyah Dan Tarbiyah (Upaya Meraih Kejayaan Umat), cetakan 1, 2002 M.

Kitab Afaatul ‘Ilmi oleh syaikh Abu Abdillah Muhammad Ruslan, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Bencana Ilmu, cetakan 1, 2005 M.

Kitab Tahdzib Tas-hil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah oleh syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Cara Mudah Memahami Aqidah, cetakan 1, 2007 M.

Kitab Mabhats Fie ‘Ulumi Al-Hadits Oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan, diterjemahkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta Timur dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadits, cetakan 1, 2005 M.

Ebook Tauhid Al-Asma' Wash-Shifat oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali dalam kitabnya “Haqiqat Ash Shufiyyah” (hal. 18-21), dengan sedikit perubahan oleh Abdullah Taslim, MA.

Kamus   Besar Bahasa Indonesia oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, penerbit Balai Pustaka Jakarta, edisi ketiga, 2007 M.

Link http://nurudin.jauhari.net/surat-sayang-dari-allah-swt.jsp


 ________
End Notes: 

[1] Mukhtashar Sabiili Al-Huda wa Ar-Rasyad fie Bayaani Haqiqati Tauhiidi Rabbi Al-‘Ibaad, penulis Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-khumais, penerbit Maktabah Al-furqan Uni Emirat Araab, cetakan 1, 1423 H/2002 M, hal 116.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali dalam kitabnya “Haqiqat Ash Shufiyyah” (hal. 18-21), dengan sedikit perubahan oleh Abdullah Taslim, MA.
[6] kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130.
[7] kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27).
[8] Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus. Lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi (16/354).
[9] Seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal. 43.
[10] hal.192
[11] QS. Asy-Syuuraa: 11
[12] Lihat kitab Syarah Aqidah Wasithiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Fauzan Al-Fauzan, penerbit Daar As-Salafiyyah Nigeria, cetakan I, 1429 H/2008 M, hal 22 .
[13] Lihat Ebook Tauhid Al-Asma' Wash-Shifat oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
[14] Tahdzib Tas-hil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah oleh syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Cara Mudah Memahami Aqidah, cetakan 1, 2007 M, hal 9.
[15] Ibid.
[16] Al-Bida’ Al-Hauliyyah oleh syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiri diterbitkan Darul Falah Jakarta dengan judul Ritual Bid’ah Dalam Setahun, cetakan 4, 2006 M, hal 31.
[17] Tahdzib Tas-hil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah oleh syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Cara Mudah Memahami Aqidah, cetakan 1, 2007 M, hal 9.
[18] Ibid.
[19] Ibid
[20] Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, penerbit Balai Pustaka Jakarta, edisi ketiga, 2007 M, hal. 872
[21] QS Yunus: 61
[22] QS An-Nisa: 26
[23] QS Yusuf: 76
[24] QS Ar-Ruum: 54
[25] Afaatul ‘Ilmi oleh syaikh Abu Abdillah Muhammad Ruslan, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Bencana Ilmu, cetakan 1, 2005 M, hal. 45
[26] QS Al-Haqqah: 44-47
[27] Tafsir Al-qur’an Al-Adzim, Ibnu Katsir (4/415). Dari kitab Afaatul ‘Ilmi oleh syaikh Abu Abdillah Muhammad Ruslan, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Bencana Ilmu, cetakan 1, 2005 M, hal 45
[28] Mahasin At-Ta’wil (9/314). Dari Kitab Afaatul ‘Ilmi oleh syaikh Abu Abdillah Muhammad Ruslan, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Bencana Ilmu, cetakan 1, 2005 M, hal. 46
[29] Ibid
[30] QS al-An’am: 93
[31] Taisir Alkarim Ar-rahman, hal 226. Dari kitab Afaatul ‘Ilmi oleh syaikh Abu Abdillah Muhammad Ruslan, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Bencana Ilmu, cetakan 1, 2005 M, hal. 49
[32] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, al-Qurthubi (7/41). Lihat kitab  Afaatul ‘Ilmi oleh syaikh Abu Abdillah Muhammad Ruslan, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Bencana Ilmu, cetakan 1, 2005 M, hal 48
[33] QS An-Nahl: 116-117
[34] Mukaddimah Al-Majruhin hal 58. Lihat ktab Khasha-ish Ahli Al-Hadits wa As-Sunnah oleh syaikh Muhammad Muhibuddin Abu Zaid, diterbitkan oleh Pustaka At-Tadzkia Jakarta dengan judul Merekalah Golongan Yang Selamat, cetakan 1, 2009 M, hal 91
[35] Lihat kitab  Mabhats Fie ‘Ulumi Al-Hadits Oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan, diterjemahkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta Timur dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadits, cetakan 1, 2005 M, hal 146
[36] HR Muslim (4) dan At-Tirmidzi (2664). Lihat kitab At-Tashfiyyah Wa Tarbiyyah oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halaby Al-Atsari, diterbitkan oleh Imam Bukhari Solo dengan judul Tasfiyah Dan Tarbiyah (Upaya Meraih Kejayaan Umat), cetakan 1, 2002 M, hal. 52

1 komentar:

Aisyah mengatakan...

masya Allah..